Hasad
berarti “isytahaa maa lighairihi” (اشتهى ما لغيره), yaitu mengharapkan/menginginkan
sesuatu seperti yang ada pada orang lain/yang dimiliki orang lain. Lebih ekstrim lagi, hasad/iri/dengki ini mempunyai pengertian mengharapkan
lenyapnya sesuatu kenikmatan yang dimiliki orang lain. Seseorang yang tidak gembira kalau saudaranya mendapatkan sesuatu,
sedangkan ia sendiri akan gembira kalau mem-perolehnya, maka orang yang
sedemikian ini disebut orang yang hasad/iri/dengki. Na’udzu billah min dzaalik.
Allah 'Azza wa Jalla berfirman:
Allah 'Azza wa Jalla berfirman:
اَمْ يَحْسُدُوْنَ
النَّاسَ عَلَى مَا اتهُمُ اللّهُ مِنْ فَضْلِه
"Apakah mereka - yakni orang-orang yang terkena laknat - itu mendengki - atau iri hati - kepada orang-orang lain karena keutamaan - yakni karunia - yakni diberikan Allah kepada mereka ini?" (an-Nisa': 54)
Menurut Imam Ghazali kedengkian itu ada tiga macam,
yaitu:
(a) Menginginkan agar kenikmatan orang lain itu
hilang dan ia dapat menggantikannya.
(b) Menginginkan agar kenikmatan orang lain itu hilang,
se- kalipun ia tidak dapat menggantikannya, baik karena merasa mustahil bahwa
dirinya akan dapat menggantikannya atau memang kurang senang memperolehinya
atau sebab Iain-Iain. Pokoknya asal orang itu jatuh, ia gembira. Ini adalah
lebih jahat dari kedengkian
yang pertama.
(c) Tidak ingin kalau kenikmatan orang lain itu
hilang, tetapi ia benci kalau orang itu akan melebihi kenikmatan yang
dimilikinya sendiri. Inipun terlarang, sebab jelas tidak ridha dengan apa-apa
yang telah dibagikan oleh Allah.
Dengki-dengki
seperti ini yang dilarag oleh Rasulullah SAW lewat sabdanya:
وَلَا تَحَاسَدُوأ
Artinya:”Dan
janganlah kalian saling hasad/iridengki…!” (HR. Muslim)
Ada suatu sifat lain yang bentuknya seolah-olah
seperti dengki, tetapi samasekali bukan termasuk kedengkian, bukan pula suatu
sifat yang buruk dan jahat, sebaliknya malahan merupakan sifat utama dan
terpuji, yaitu yang dinamakan ghibthah. Ghibthah (الغبطة) yaitu
keinginan agar dirinya seperti kawannya ( مِثْلَ صاحبه تَمَنِّيِهِ)
Ghibthah ialah suatu kesadaran atau suatu keinsafan yang tumbuh
dari akal fikiran manusia yang berjiwa besar dan luhur. la sadar dan insaf akan
kekurangan atau kemunduran yang ada di dalam dirinya, kemudian setelah
menyadari dan menginsafi hal itu, lalu ia bekerja keras, berusaha mati-matian
agar dapat sampai kepada apa-apa yang telah dapat dicapai kawannya, tanpa
disertai kedengkian dan iri hati. Sekalipun ia menginginkan mendapatkan apa
yang telah didapatkan oleh orang lain, namun hatinya tetapi bersih, sedikitpun
tidak mengharapkan agar kenikmatan orang lain lenyap atau hilang daripadanya.
Mengenai
ghibthah (hasad/iri yang dibolehkan) ini Rasululullah memberitahukan bahwa
tidak bole hasad kecuali dalam dua hal.
وعن ابن مسعود رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال، قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم:
<لا حسد إلا في اثنتين: رجل آتاه اللَّه مالاً فسلطه على هلكته في الحق، ورجل آتاه اللَّه الحكمة فهو يقضي بها ويعلمها> مُتَّفَقٌ عَلَيهِ
"Tiada boleh hasad/iri kecuali dalam dua macam perkara,
yaitu: seseorang yang dikaruniai oleh Allah akan harta, kemudian ia
mempergunakan hartanya untuk perkara-perkara yang hak (yang benar) dan
seseorang yang dikaruniai hikmah (ilmu pengetahuan) oleh Allah, kemudian dia
mengamalkan dan mengajarkan ilmunya tersebut." (Muttafaq 'alaih)
Dari hadits di atas jelaslah bagi kita, bahwa iri (Jawa: meri) boleh
dilimpahkan pada dua macam orang. Yang pertama yaitu boleh iri pada orang yang oleh
Allah dikaruniai harta yang banyak, kemudian ia mempergunakan hartanya untuk perkara-perkara
yang hak (yang benar). Dan yang kedua boleh iri kepada orang yang oleh Allah dikaruniai
hikmah (ilmu pengetahuan), kemudian dia mengamalkan dan mengajarkan ilmunya tersebut.
Wa allahu a’lam bishshawab. (mf)
-------------------------------------
Referensi:
1.
Al-Qur;an
2.
Riyadh
as-Shalihin
3. Miftah al-Khithabah wa al-Wa’dh
3. Miftah al-Khithabah wa al-Wa’dh
4.
Kamus
al-Munawwir
0 comments:
Post a Comment